Di kota, pemandangan tidak kalah asrinya. Di sepanjang jalan utama, ditanam pohon-pohon sawo kecik peneduh jalan, dan di setiap sudut perempatan dan pertigaan jalan ditanami pohon beringin nan rindang. Di tiap pelataran rumah ditanam pohon kelapa gading sepasang, juga pohon sawo manila, mangga golek, jambu lumut, juga pohon pinang di sisi kiri dan kanan. Di pedesaan, vegetasi yang nampak lebih beraneka warna lagi. Di berbagai penjuru desa tertanam pohon nangka, belimbing, kelapa dan lain sebagainya. Kebun-kebun ditanami pohon siwalan penghasil legen, buah siwalan, dan lontar. Lontar dipakai untuk menulis serta mencatat cerita ataupun syair kakawin, sedangkan legen diolah menjadi gula. Di sela-sela pohon aren ditanami pohon kapuk randu yang dirambati oleh tanaman sirih yang berguna sebagai jamu sakit perut.Negeri di pesisir pantai itu dipimpin oleh seorang pemimpin bernama Duhitendu Dewi, atau lebih dikenal sebagai Dewi Indu, adik dari Prabu Hayam Wuruk penguasa Wilwatikta alias Majapahit. (Nāgara Krtāgama, Pupuh 5). Para penduduk negeri menggambarkan Dewi Indu seperti Srikandi yang cantik jelita bagai bulan purnama, sehingga mereka sering menjulukinya Dewi Purnama Wulan. Tak hanya itu, mereka bahkan menganggapnya sebagai perwujudan dari Bodhisattva Avalokiteçvara yang selalu memberi pengayoman dan membawa kemakmuran bagi segenap rakyatnya. Konon Dewi Indu berkuasa dengan penuh wibawa, mengatur seluruh negeri dengan adil dan bijaksana sehingga selalu dipuja, dipatuhi, dan dicintai rakyat hingga akhir hayatnya.
Itulah sekilas gambaran Lasem di masa lampau yang dikisahkan oleh R. Panji Kamzah dalam naskah Carita Lasem.
Kini, Lasem hanyalah sebuah kota kecil di bawah wilayah administratif
Kabupaten Rembang di pesisir utara Jawa Tengah yang dilalui oleh Grotepostweg atau
lebih populer dengan nama Jalan Raya Daendels yang menghubungkan
Anyer-Panarukan. Jarang ada yang tahu bahwa sejak abad ke-7 Lasem telah
dikenal sebagai kota pelabuhan dan merupakan kota besar di sepanjang
pantai utara Jawa. Sebagai kota maritim, di masa lampau Lasem populer
sebagai produsen kapal yang tangguh, baik kapal perang maupun kapal
dagang sejak jaman Majapahit hingga masa VOC. Kapal-kapal ini dibuat
pada galangan-galangan kapal, salah satunya yang terletak di pinggir
sungai Lasem yang merupakan urat nadi kehidupan masyarakat Lasem.
Sayangnya, kedigdayaan galangan kapal Lasem di masa lampau itu kini
hanya menyisakan fondasi-fondasi yang tidak bisa banyak berbicara akibat
politik bumi hangus tentara Indonesia yang mengincar sarana-prasarana
penting kaum penjajah.
Lasem sering dijuluki Le Petit Chinois
alias Tiongkok Kecil. Julukan ini berawal ketika pada abad ke-15
orang-orang dari China berdatangan ke pelabuhan Lasem. Saat itu, Bi Nang Un,seorang
anggota rombongan ekspedisi Laksamana Cheng Ho mendarat di Lasem dan
menetap di kota ini, kemudian disusul oleh orang-orang Hokkian penganut
Kong Hu Cu (Konfusianisme). Sejak saat itu karena merasa nyaman dan
ditambah lagi telah banyak pendahulu mereka yang telah menetap, semakin
banyak orang-orang China yang datang, turut menetap, menjalankan roda
perdagangan, berbaur, menularkan budayanya dan mempelajari budaya
setempat, menikah dengan penduduk pribumi, beranak-pinak, dan
menghasilkan generasi-generasi baru yang tampak dalam perwujudan warga
keturunan etnis Tionghoa di Lasem sekarang.
Saat ini, jejak-jejak peninggalan kebudayaan
Cina tersebut masih dapat dijumpai di Lasem. Apabila anda sempat
mengunjungi kota ini, anda akan banyak melihat rumah di pusat kota
dengan atap berbentuk lengkung khas Tiongkok yang dikelilingi
tembok-tembok kusam tinggi dan tebal, serta pintu gerbang kayu yang
diwarnai ornamen-ornamen serta tulisan Cina. Jika anda masuk lebih dalam
lagi, pemandangan ini akan makin terlihat. Koridor-koridor suram
diantara tembok rumah tua, makam tionghoa, ditambah lagi dengan
keberadaan tiga buah kelenteng pusat kegiatan peribadatan etnis Tionghoa
disini, semakin menguatkan kesan kota ini sebagai Little China.
Saya masih ingat, pada masa kecil saya dulu
kawan-kawan SD saya sebagian besar adalah etnis keturunan China. Dulu
saya sering main ke rumah kawan karib saya pada waktu itu dan
terheran-heran melihat segala interior rumahnya yang benar-benar bergaya
Tiongkok klasik, dengan lantai kayu, cermin-cermin besar, dan lebih
banyak lagi ornamen-ornamen yang tidak dapat saya ingat secara detail.
Kehidupan seni dan budaya yang dibawa oleh
orang-orang Tiongkok sejak berabad-abad silam lambat laun ikut membaur
dalam kehidupan masyarakat pribumi dan memberi warna pada kehidupan
sosial masyarakat Lasem hingga sekarang. Salah satu wujud nyata
perpaduan seni dan budaya tersebut kini masih tampak dalam selembar
kain: Batik Lasem. Dalam selembar kain ini terpapar secara gamblang
adanya silang budaya yang terlihat dari motifnya. Sebut saja burung hong, liong (naga), seruni, magnolia, juga peoni yang
merupakan motif khas dari Tiongkok berpadu dengan motif parang, lereng,
kawung dan udan liris yang merupakan motif khas dari Jawa.
Dari segi warna, batik Lasem dominan dengan
warna merah, biru, soga, hijau, ungu, hitam, krem dan putih. Merah
adalah pengaruh Tiongkok, Soga adalah pengaruh budaya Jawa, Biru berasal
dari Eropa, dan hijau pengaruh budaya Islam. Kombinasi warna inilah
yang kemudian menghasilkan sebuah masterpiece dalam dunia perbatikan di
Lasem: Batik Tiga Negeri. Batik Tiga Negeri adalah batik yang mempunyai
tiga warna khas, dan dibuat di tiga tempat. Warna soga diproduksi di
Solo, biru diproduksi di Pekalongan, dan merah diproduksi di Lasem. Ada
yang menarik tentang warna merah batik Lasem ini. Konon katanya warna
merah Lasem ini benar-benar khas Lasem dan tidak bisa ditiru di daerah
lain. Dikenal sebagai abang getih pitik alias merah darah ayam, warna
merah ini menjadi khas karena campuran pewarnanya menggunakan air di
Lasem yang mengandung senyawa tertentu yang tidak dimiliki oleh daerah
lain. Kandungan senyawa apa yang dimaksud, Wallahu a’lam. Batik Lasem
yang bernilai seni tinggi ini sempat merajai Nusantara pada abad ke 19
dan dihargai cukup mahal dan cukup berperan dalam menyokong denyut nadi
perekonomian masyarakat Lasem.
Kini, masa kejayaan Lasem memang telah
lewat. Tiada lagi galangan kapal yang membuat kapal-kapal tangguh
pengarung samudera. Tidak ada lagi geliat perdagangan yang gemilang
seperti di masa lampau. Kini yang tersisa di Lasem hanyalah rumah-rumah
tiongkok yang telah kusam dengan tembok menghitam dimakan zaman―sebagian
sudah ditinggalkan pemiliknya untuk mencari peruntungan di kota
lain. Mungkin hanya Batik Lasem yang sekarang tertatih-tatih bangkit
seiring dengan euforia kebangkitan batik nasional bisa sedikit
mengangkat kembali nama Lasem, walau itupun belum bisa berperan banyak.
Sebagai orang yang pernah dibesarkan di Lasem, saya hanya bisa bermimpi
Lasem di masa depan bisa bangkit kembali. Mungkin otoritas setempat bisa
mengembangkan Lasem sebagai sebuah kawasan wisata cagar budaya dengan
merevitalisasi kembali kawasan kota tua Lasem seperti di Semarang dan
Jakarta, atau mendorong Batik Lasem menjadi komoditas unggulan. Terlebih
lagi,
Lasem masih punya potensi yang lain: potensi kelautan, wisata religi1, Lontong Tuyuhan2, Kopi Lelet3, sampai mangga gadung4.
Apabila potensi-potensi ini dapat dioptimalkan secara sinergi, bukan
tidak mungkin Lasem kelak bisa berkibar kembali seperti di masa lampau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar