KOMENTAR

Sabtu, 14 Desember 2013

Hikayat Negeri Lasem

Jawa, abad ke-14. Di kawasan pesisir utara, terdapatlah sebuah negeri yang gemah ripah loh jinawi. Menghadap lautan, berpunggung pegunungan, dan dibelah sebuah sungai sumber kehidupan utama penghuni seluruh negeri. Hutan jati tumbuh berjajar, sawah ladang luas membentang. Di kejauhan, tampak pegunungan Argopuro yang hijau lebat, penuh dengan pepohonan rimbun beraneka rupa tempat tinggal berbagai macam satwa—sehingga di setiap pagi akan terdengar simfoni alam yang harmonis dari suara ayam hutan, merak, juga ocehan burung-burung yang bertengger di pucuk pohon beringin, duwet, serta trenggulun—memakani buahnya yang bergelayut matang.
Pagi Merekah Dari Balik Pegunungan Argopuro
Di kota, pemandangan tidak kalah asrinya. Di sepanjang jalan utama, ditanam pohon-pohon sawo kecik peneduh jalan, dan di setiap sudut perempatan dan pertigaan jalan ditanami pohon beringin nan rindang. Di tiap pelataran rumah ditanam pohon kelapa gading sepasang, juga pohon sawo manila, mangga golek, jambu lumut, juga pohon pinang di sisi kiri dan kanan. Di pedesaan, vegetasi yang nampak lebih beraneka warna lagi. Di berbagai penjuru desa tertanam pohon nangka, belimbing, kelapa dan lain sebagainya. Kebun-kebun ditanami pohon siwalan penghasil legen, buah siwalan, dan lontar. Lontar dipakai untuk menulis serta mencatat cerita ataupun syair kakawin, sedangkan legen diolah menjadi gula. Di sela-sela pohon aren ditanami pohon kapuk randu yang dirambati oleh tanaman sirih yang berguna sebagai jamu sakit perut.
Negeri di pesisir pantai itu dipimpin oleh seorang pemimpin bernama Duhitendu Dewi, atau lebih dikenal sebagai Dewi Indu, adik dari Prabu Hayam Wuruk penguasa Wilwatikta alias Majapahit. (Nāgara Krtāgama, Pupuh 5). Para penduduk negeri menggambarkan Dewi Indu seperti Srikandi yang cantik jelita bagai bulan purnama, sehingga mereka sering menjulukinya Dewi Purnama Wulan. Tak hanya itu, mereka bahkan menganggapnya sebagai perwujudan dari Bodhisattva Avalokiteçvara yang selalu memberi pengayoman dan membawa kemakmuran bagi segenap rakyatnya. Konon Dewi Indu berkuasa dengan penuh wibawa, mengatur seluruh negeri dengan adil dan bijaksana sehingga selalu dipuja, dipatuhi, dan dicintai rakyat hingga akhir hayatnya.
“Ada adinda Baginda Raja di Wilwatikta; Yang Bermukim di Lasem sangat terkenal kecantikannya; Putri Baginda Raja Daha tersohor kejelitaannya; Bernama Indu Dewi amat jelita Putri Sri Rajasa”  (Nāgara Krtāgama)


Itulah sekilas gambaran Lasem di masa lampau yang dikisahkan oleh R. Panji Kamzah dalam naskah Carita Lasem. Kini, Lasem hanyalah sebuah kota kecil di bawah wilayah administratif Kabupaten Rembang di pesisir utara Jawa Tengah yang dilalui oleh Grotepostweg atau lebih populer dengan nama Jalan Raya Daendels yang menghubungkan Anyer-Panarukan. Jarang ada yang tahu bahwa sejak abad ke-7 Lasem telah dikenal sebagai kota pelabuhan dan merupakan kota besar di sepanjang pantai utara Jawa. Sebagai kota maritim, di masa lampau Lasem populer sebagai produsen kapal yang tangguh, baik kapal perang maupun kapal dagang sejak jaman Majapahit hingga masa VOC. Kapal-kapal ini dibuat pada galangan-galangan kapal, salah satunya yang terletak di pinggir sungai Lasem yang merupakan urat nadi kehidupan masyarakat Lasem. Sayangnya, kedigdayaan galangan kapal Lasem di masa lampau itu kini hanya menyisakan fondasi-fondasi yang tidak bisa banyak berbicara akibat politik bumi hangus tentara Indonesia yang mengincar sarana-prasarana penting kaum penjajah.
Galangan kapal yang pernah ada di Dasun, Lasem. (foto: http://www.kitlv.nl)
Lasem sering dijuluki Le Petit Chinois alias Tiongkok Kecil. Julukan ini berawal ketika pada abad ke-15 orang-orang dari China berdatangan ke pelabuhan Lasem. Saat itu, Bi Nang Un,seorang anggota rombongan ekspedisi Laksamana Cheng Ho mendarat di Lasem dan menetap di kota ini, kemudian disusul oleh orang-orang Hokkian penganut Kong Hu Cu (Konfusianisme). Sejak saat itu karena merasa nyaman dan ditambah lagi telah banyak pendahulu mereka yang telah menetap, semakin banyak orang-orang China yang datang, turut menetap, menjalankan roda perdagangan, berbaur, menularkan budayanya dan mempelajari budaya setempat, menikah dengan penduduk pribumi, beranak-pinak, dan menghasilkan generasi-generasi baru yang tampak dalam perwujudan warga keturunan etnis Tionghoa di Lasem sekarang.
Tembok Kusam & Pintu Gerbang Masuk Ke Rumah Tionghoa
Saat ini, jejak-jejak peninggalan kebudayaan Cina tersebut masih dapat dijumpai di Lasem. Apabila anda sempat mengunjungi kota ini, anda akan banyak melihat rumah di pusat kota dengan atap berbentuk lengkung khas Tiongkok yang dikelilingi tembok-tembok kusam tinggi dan tebal, serta pintu gerbang kayu yang diwarnai ornamen-ornamen serta tulisan Cina. Jika anda masuk lebih dalam lagi, pemandangan ini akan makin terlihat. Koridor-koridor suram diantara tembok rumah tua, makam tionghoa, ditambah lagi dengan keberadaan tiga buah kelenteng pusat kegiatan peribadatan etnis Tionghoa disini, semakin menguatkan kesan kota ini sebagai Little China.
Kelenteng Cu An Kiong, Dasun, Lasem
Saya masih ingat, pada masa kecil saya dulu kawan-kawan SD saya sebagian besar adalah etnis keturunan China. Dulu saya sering main ke rumah kawan karib saya pada waktu itu dan terheran-heran melihat segala interior rumahnya yang benar-benar bergaya Tiongkok klasik, dengan lantai kayu, cermin-cermin besar, dan lebih banyak lagi ornamen-ornamen yang tidak dapat saya ingat secara detail.
Koridor di antara tembok-tembok kusam
Kehidupan seni dan budaya yang dibawa oleh orang-orang Tiongkok sejak berabad-abad silam lambat laun ikut membaur dalam kehidupan masyarakat pribumi dan memberi warna pada kehidupan sosial masyarakat Lasem hingga sekarang. Salah satu wujud nyata perpaduan seni dan budaya tersebut kini masih tampak dalam selembar kain: Batik Lasem. Dalam selembar kain ini terpapar secara gamblang adanya silang budaya yang terlihat dari motifnya. Sebut saja burung hong, liong (naga), seruni, magnolia, juga peoni yang merupakan motif khas dari Tiongkok berpadu dengan motif parang, lereng, kawung dan udan liris yang merupakan motif khas dari Jawa.
Batik Lasem
Dari segi warna, batik Lasem dominan dengan warna merah, biru, soga, hijau, ungu, hitam, krem dan putih. Merah adalah pengaruh Tiongkok, Soga adalah pengaruh budaya Jawa, Biru berasal dari Eropa, dan hijau pengaruh budaya Islam. Kombinasi warna inilah yang kemudian menghasilkan sebuah masterpiece dalam dunia perbatikan di Lasem: Batik Tiga Negeri. Batik Tiga Negeri adalah batik yang mempunyai tiga warna khas, dan dibuat di tiga tempat. Warna soga diproduksi di Solo, biru diproduksi di Pekalongan, dan merah diproduksi di Lasem. Ada yang menarik tentang warna merah batik Lasem ini. Konon katanya warna merah Lasem ini benar-benar khas Lasem dan tidak bisa ditiru di daerah lain. Dikenal sebagai abang getih pitik alias merah darah ayam, warna merah ini menjadi khas karena campuran pewarnanya menggunakan air di Lasem yang mengandung senyawa tertentu yang tidak dimiliki oleh daerah lain. Kandungan senyawa apa yang dimaksud, Wallahu a’lam. Batik Lasem yang bernilai seni tinggi ini sempat merajai Nusantara pada abad ke 19 dan dihargai cukup mahal dan cukup berperan dalam menyokong denyut nadi perekonomian masyarakat Lasem.
Lasem Kini
Kini, masa kejayaan Lasem memang telah lewat. Tiada lagi galangan kapal yang membuat kapal-kapal tangguh pengarung samudera. Tidak ada lagi geliat perdagangan yang gemilang seperti di masa lampau. Kini yang tersisa di Lasem hanyalah rumah-rumah tiongkok yang telah kusam dengan tembok menghitam dimakan zaman―sebagian sudah ditinggalkan pemiliknya untuk mencari peruntungan di kota lain. Mungkin hanya Batik Lasem yang sekarang tertatih-tatih bangkit seiring dengan euforia kebangkitan batik nasional bisa sedikit mengangkat kembali nama Lasem, walau itupun belum bisa berperan banyak. Sebagai orang yang pernah dibesarkan di Lasem, saya hanya bisa bermimpi Lasem di masa depan bisa bangkit kembali. Mungkin otoritas setempat bisa mengembangkan Lasem sebagai sebuah kawasan wisata cagar budaya dengan merevitalisasi kembali kawasan kota tua Lasem seperti di Semarang dan Jakarta, atau mendorong Batik Lasem menjadi komoditas unggulan. Terlebih lagi,
Masjid Jami’ Lasem merupakan salah satu landmark kota Lasem, didirikan pada tahun 1585 oleh Adipati Lasem Tejokusumo I. Masjid ini pernah menjadi saksi heroisme rakyat Lasem dalam perlawanan atas imperialisme Belanda di masa lampau.
Lasem masih punya potensi yang lain: potensi kelautan, wisata religi1, Lontong Tuyuhan2, Kopi Lelet3, sampai mangga gadung4. Apabila potensi-potensi ini dapat dioptimalkan secara sinergi, bukan tidak mungkin Lasem kelak bisa berkibar kembali seperti di masa lampau

Tidak ada komentar:

Posting Komentar