KOMENTAR

Rabu, 15 Mei 2013

Kebangkitan Laesan, Kesenian Yang Terlupakan

Siapa sangka, di sebuah kecamatan kecil di pesisir utara Jawa Tengah, tepatnya di Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, selain situs² bersejarah, tersimpan juga warisan budaya yang juga tak kalah unik yaitu kesenian Laesan.
Laesan, Lasem
penari berada di dalam kurungan ayam saat Laesan dimulai | sumber foto
Laesan berasal dari kata “laes” yang berarti hampa. Sekilas, kesenian ini hampir mirip dengan Sintren dari Cirebon. Dimainkan oleh seorang penari laki-laki yang menari dengan gerakan gemulai bak bidadari. Dalam pertunjukan Laesan, sang penari diiringi oleh beberapa orang pemain alat musik berupa bambu/disebut juga dengan “Jug” yang dipukul-pukul, sehingga menimbulkan bunyi-bunyian yang ritmik. Sementara beberapa orang menjadi penembang/sinden yang menyanyikan tembang dalam bahasa jawa ngoko khas pantura.
Asap dupa mengepul, aromanya merebak melekat di hidung para penonton. Tampah berisi bunga sesaji berada di depan para pemain. Sang penari berada di dalam kurungan ayam yang sebelumnya sudah diasapi dengan kemenyan. Ketika ketukan bambu berpadu bertalu, para penembang membawakan tembang seolah
seperti merapal mantra. Nuansa magis begitu terasa, menyeruak diantara dinginnya angin malam.
Laesan, Lasem
penabuh musik pengiring Laesan | sumber foto
Tahap pertama adalah pambuka/pembukaan. Konon, dulu bagian ini disebut dengan “Ela-Elo” karena kata-kata itulah yang ditembangkan pada fase pertama. Namun seiring dengan masuknya syiar ajaran Islam di Lasem, hingga saat ini, kata-katanya dirubah dengan lafal tahlil, “Laa Ila Ha ‘illallah” yang berarti tiada Tuhan selain Allah. Si penari hanya duduk terdiam sambil terpejam di dalam kurungan tengah-tengah arena. Setelah beberapa menit baru kemudian penari mulai diikat dengan tali/selendang. Dia mulai menari dengan gemulainya. Pada fase inilah sang penari mulai merasakan trans, yaitu sebuah kondisi antara sadar dan tidak. Diiringi tembang “Uculana Banda Nira” yang artinya lepaskanlah ikatan ku ini.
Tahap ketiga adalah permainan. Dalam kondisi trans/setengah sadar, si penari “seolah” bermain dengan sesuatu yang tak kasat mata. Penonton yang mengerubungi pertunjukan seolah terbius oleh alunan musik dan gerakan penari. Pada jaman penjajahan Belanda, tembang jawa yang dilantunkan merupakan modifikasi kalimat-kalimat kode untuk terus mengobarkan semangat perjuangan. Cara ini dianggap aman karena Belanda tidak mengetahui arti dari kalimat-kalimat yang dilantunkan.
“Luruo Sintren, Sintrene widodari”
“Mambu kembang kelayungan”
“Kembange putra Laesan”
“Widodari tumuruno”
“Sing ngenjingi awak ira”
Nah, ketika para penembang sudah melantunkan tembang tersebut, berarti pertunjukan Laesan sudah hampir usai. Pada tahap ke-empat ini, si penari biasanya sudah terlihat lemas kecapekan. Langkah tariannya mulai gontai. Saatnya penyembuhan, pemulihan kesadaran. Dia akan dibaringkan oleh sang pawang dan dibisiki mantra. Sang penari pun terdiam lemas dengan mata terpejam.
Sebagai penutupnya, penembang membawakan tembang lorotan/kelayungan. Makna dari tembang ini adalah bahwa semua yang hidup akan kembali kepada sebuah kematian. Tahap ini menjadi saat-saat paling sakral dalam pertunjukan Laesan. Tergambar bagaimana ketakutan seseorang dalam menghadapi sakaratul maut. Namun dalam lirik penutup juga tersirat pesan moral agar kita selalu ingat Tuhan, sehingga mendapatkan akhir hidup yang khusnul khotimah/dalam keadaan baik. Daleeeeemmm….
Video kesenian Laesan yang dipadukan dengan pembacaan puisi, rasakan getaran  musik pembukanya, seolah menembus antar dimensi #tsahhhh ~>
Just FYI, saat ini satu-satunya kelompok kesenian Laesan yang ada di Lasem, kebangkitannya dimotori oleh Pak Yon Suprayoga. Beliau mengajak para sesepuh yang dulu waktu muda menjadi pemain Laesan untuk bermain kembali setelah sempat dilarang pada masa rezim orde baru Soeharto. Mengapa dilarang? Karena menurut cerita Pak Yon Suprayoga, sekitar pertengahan tahun 60an kesenian Laesan diadopsi oleh PKI melalui LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) untuk menyebarkan komunisme di tanah Lasem.
“yang perlu dicatat, ada baiknya kita berpandangan luas. Laesan ini adalah kesenian asli masyarakat Lasem, bukan ritual keagamaan ataupun ritual mendatangkan setan” pesan Pak Yon kepada kami ketika berkunjung ke markas Fokmas (Forum Komunikasi Masyarakat Sejarah) Lasem.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar