Siapa sangka, di sebuah kecamatan kecil
di pesisir utara Jawa Tengah, tepatnya di Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa
Tengah, selain situs² bersejarah, tersimpan juga warisan budaya yang
juga tak kalah unik yaitu kesenian Laesan.
Laesan
berasal dari kata “laes” yang berarti hampa. Sekilas, kesenian ini
hampir mirip dengan Sintren dari Cirebon. Dimainkan oleh seorang penari
laki-laki yang menari dengan gerakan gemulai bak bidadari. Dalam
pertunjukan Laesan, sang penari diiringi oleh beberapa orang pemain alat
musik berupa bambu/disebut juga dengan “Jug” yang dipukul-pukul,
sehingga menimbulkan bunyi-bunyian yang ritmik. Sementara beberapa orang
menjadi penembang/sinden yang menyanyikan tembang dalam bahasa jawa
ngoko khas pantura.
Asap
dupa mengepul, aromanya merebak melekat di hidung para penonton. Tampah
berisi bunga sesaji berada di depan para pemain. Sang penari berada di
dalam kurungan ayam yang sebelumnya sudah diasapi dengan kemenyan.
Ketika ketukan bambu berpadu bertalu, para penembang membawakan tembang
seolah
seperti merapal mantra. Nuansa magis begitu terasa, menyeruak diantara dinginnya angin malam.
seperti merapal mantra. Nuansa magis begitu terasa, menyeruak diantara dinginnya angin malam.
Tahap
pertama adalah pambuka/pembukaan. Konon, dulu bagian ini disebut dengan
“Ela-Elo” karena kata-kata itulah yang ditembangkan pada fase pertama.
Namun seiring dengan masuknya syiar ajaran Islam di Lasem, hingga saat
ini, kata-katanya dirubah dengan lafal tahlil, “Laa Ila Ha ‘illallah”
yang berarti tiada Tuhan selain Allah. Si penari hanya duduk terdiam
sambil terpejam di dalam kurungan tengah-tengah arena. Setelah beberapa
menit baru kemudian penari mulai diikat dengan tali/selendang. Dia mulai
menari dengan gemulainya. Pada fase inilah sang penari mulai merasakan
trans, yaitu sebuah kondisi antara sadar dan tidak. Diiringi tembang
“Uculana Banda Nira” yang artinya lepaskanlah ikatan ku ini.
Tahap
ketiga adalah permainan. Dalam kondisi trans/setengah sadar, si penari
“seolah” bermain dengan sesuatu yang tak kasat mata. Penonton yang
mengerubungi pertunjukan seolah terbius oleh alunan musik dan gerakan
penari. Pada jaman penjajahan Belanda, tembang jawa yang dilantunkan
merupakan modifikasi kalimat-kalimat kode untuk terus mengobarkan
semangat perjuangan. Cara ini dianggap aman karena Belanda tidak
mengetahui arti dari kalimat-kalimat yang dilantunkan.
“Luruo Sintren, Sintrene widodari”
“Mambu kembang kelayungan”
“Kembange putra Laesan”
“Widodari tumuruno”
“Sing ngenjingi awak ira”
“Mambu kembang kelayungan”
“Kembange putra Laesan”
“Widodari tumuruno”
“Sing ngenjingi awak ira”
Nah, ketika para penembang sudah
melantunkan tembang tersebut, berarti pertunjukan Laesan sudah hampir
usai. Pada tahap ke-empat ini, si penari biasanya sudah terlihat lemas
kecapekan. Langkah tariannya mulai gontai. Saatnya penyembuhan,
pemulihan kesadaran. Dia akan dibaringkan oleh sang pawang dan dibisiki
mantra. Sang penari pun terdiam lemas dengan mata terpejam.
Sebagai penutupnya, penembang membawakan
tembang lorotan/kelayungan. Makna dari tembang ini adalah bahwa semua
yang hidup akan kembali kepada sebuah kematian. Tahap ini menjadi
saat-saat paling sakral dalam pertunjukan Laesan. Tergambar bagaimana
ketakutan seseorang dalam menghadapi sakaratul maut. Namun dalam lirik
penutup juga tersirat pesan moral agar kita selalu ingat Tuhan, sehingga
mendapatkan akhir hidup yang khusnul khotimah/dalam keadaan baik.
Daleeeeemmm….
Video kesenian Laesan yang dipadukan
dengan pembacaan puisi, rasakan getaran musik pembukanya, seolah
menembus antar dimensi #tsahhhh ~>
Just FYI, saat ini satu-satunya kelompok
kesenian Laesan yang ada di Lasem, kebangkitannya dimotori oleh Pak Yon
Suprayoga. Beliau mengajak para sesepuh yang dulu waktu muda menjadi
pemain Laesan untuk bermain kembali setelah sempat dilarang pada masa
rezim orde baru Soeharto. Mengapa dilarang? Karena menurut cerita Pak
Yon Suprayoga, sekitar pertengahan tahun 60an kesenian Laesan diadopsi
oleh PKI melalui LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) untuk menyebarkan
komunisme di tanah Lasem.
“yang perlu dicatat, ada baiknya kita
berpandangan luas. Laesan ini adalah kesenian asli masyarakat Lasem,
bukan ritual keagamaan ataupun ritual mendatangkan setan” pesan Pak Yon
kepada kami ketika berkunjung ke markas Fokmas (Forum Komunikasi
Masyarakat Sejarah) Lasem.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar